Carut Marut Percaturan Pilkada 2024
AksaraNews, Bandung (22/08/2024) — Mahkamah Konstitusi berperan penting dalam memastikan undang-undang yang dibuat sejalan dengan konstitusi. Namun, dua putusan progresif, yaitu Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 mendapat reaksi cepat dari Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR). Hah, gimana ceritanya?
Pada Rabu lalu (21/08), Baleg DPR bersama pemerintah mengadakan rapat kilat untuk merevisi Undang-Undang Pilkada, alias menganulir putusan MK. Saking mendadaknya, tahu bulat aja kalah, loh. Putusan MK mengenai threshold yang memungkinkan setiap partai politik untuk mengusulkan calon kepala daerah meskipun tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menjadi yang pertama ditentang Baleg. Selain itu, batas usia kepala daerah kembali mengacu pada putusan Mahkamah Agung (MA), yaitu dihitung sejak saat dilantik, bukan saat pencalonan.
Lalu, kenapa dianulir? Bukannya putusan MK ini bagus buat keberlangsungan demokrasi? Nah, ini dia yang bikin orang-orang geram. Spekulasi diperkuatnya koalisi plus-plus dan pelolosan si Bungsu dalam pencalonan mulai menggurita di media sosial. Banyak netizen yang menyuarakan kekhawatiran mereka melalui tagar “Peringatan Darurat” yang lalu menjadi trending di berbagai platform. Masyarakat juga mulai mengendus bau-bau oligarki dalam Pilkada tahun ini.
Ini adalah pengingat penting bahwa proses demokrasi memerlukan partisipasi dan pengawasan yang terus-menerus dari semua elemen masyarakat terutama mahasiswa. Hal inilah yang membuat puluhan mahasiswa Telkom University yang tergabung dalam asosiasi Telkom Undercover mengadakan konsolidasi bertajuk Kajian Terkait Putusan pada Rabu (21/8) pukul 19.30 WIB. Kegiatan yang digelar di depan Gate 2 tersebut melahirkan tiga tuntutan yang akan diajukan dalam aksi demonstrasi mendatang. Apa saja?
- Tidak ada perubahan Putusan MK mengenai Pilkada.
- KPU gunakan Putusan MK.
- Transparansi kelembagaan dan pemangku jabatan.
Pemantik diskusi, Ibest, menyatakan bahwa sebagai mahasiswa, kita seharusnya memenuhi Lima Peran Mahasiswa. Membiarkan kecacatan demokrasi berlangsung di depan mata kepala tentu tidak sesuai dengan nilai Guardian of Value. Lalu sebagai penjaga moral, masa iya, kita membiarkan oligarki yang jelas melawan etika. Bentuk perlawanan harus disegerakan begitu kita menemui ketidakadilan.
“Bayangkan, kalian sebagai kepala keluarga sudah memutuskan aturan dalam keluarga kalian. Lalu ada orang yang bukan anggota keluarga menentang aturan yang kalian buat. Marah, nggak?”, Ibest menganalogikan.
Saat ini, RUU yang direvisi Baleg akan dibawa ke Paripurna terdekat, sedangkan sebagian besar elemen masyarakat sudah merencanakan demonstrasi. Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Penulis: Syifa Uswatun Khasanah
Editor: Mahardika Putra Yanata