Featured

Frans Kaisiepo, Pahlawan Nasional Dari Timur Indonesia

AksaraFeature, Bandung (06/09/2020) – Pemerintah Indonesia memajang wajah pahlawan nasional dari tanah Papua untuk pertama kalinya dalam lembaran uang rupiah. Pada tahun 2016, pemerintah merilis uang pecahan Rp10.000,00 dengan wajah seorang putra asal Papua yang berjasa besar dalam memperjuangkan negara Indonesia di Papua.

Frans Kaisiepo, pria kelahiran Wardo, Biak, pada 10 Oktober 1921 ini merupakan sosok yang berjasa dalam menyatukan Papua dengan Indonesia. Namanya mungkin terdengar asing bagi sebagian besar orang di Indonesia. Namun, di Papua , beliau adalah pahlawan yang tak kenal gentar dalam melawan kependudukan Belanda di tanah Papua.

Ayahnya bernama Albert Kaisiepo, seorang pandai besi juga kepala suku Biak Numfor. Ibunya, Alberthina Maker, meninggal dunia saat usia Frans masih dua tahun. Frans kemudian dititipkan untuk tinggal bersama bibinya. Frans tumbuh besar bersama bibi dan sepupunya yang bernama Markus di Wardo.

Meski tumbuh besar di pedalaman Biak, Frans mampu menempuh pendidikan dengan sistem Belanda. Beliau bersekolah di Sekolah Rakyat dari tahun 1928 hingga 1931. Frans termasuk elite terdidik Papua pertama. Frans mengikuti kursus Kilat Pamong Praja di kota Nica (sekarang Kampung Harapan), Hollandia, dan menjadi salah satu dari 150 putra Papua yang mengikuti kursus tersebut.

Di sana, Frans berjumpa dengan Seogoro Atmoprasodjo, pengajar dan direktur asrama beretnis Jawa. Soegoro merupakan seorang Digoelis yang sangat berpengaruh dikalangan orang-orang Papua pro-Indonesia. Dahulu Soegoro juga seorang  aktivis Taman Siswa bentukan Ki Hajar Dewantara. Meski mengantongi kepercayaan besar dari pihak Belanda, Soegoro justru menggunakan posisinya sebagai guru untuk menumbuhkan rasa nasionalisme pada muridnya.

Kepada anak muridnya, Soegoro memperkenalkan lagu Indonesia Raya dan selalu menumbuhkan kesadaran persatuan Indonesia di Papua. Soegoro meyakinkan muridnya bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia. Dari pertemuannya dengan Seogoro-lah, Frans akhirnya terjun ke dunia politik. Jiwa nasionalisme dalam diri Frans bangkit sejak mengenal Soegoro. Dari situlah, Frans bertekad untuk terus memperjuangkan Papua.

Kiprah politiknya dimulai saat Frans mengikuti Konferensi Malino sebagai perwakilan Papua. Konferensi Malino dilaksanakan di Kota Malino, Sulawesi Selatan, pada tanggal 15 sampai 25 Juli 1946, dengan tujuan untuk membentuk negara-negara bagian Republik Indonesia.

Frans berperan aktif dalam konferensi tersebut. Meski menghadiri Konferensi Malino sebagai delegasi dari Papua, Frans tidak selalu mewakili kepentingan Belanda. Ia menentang keras niat Belanda yang ingin menggabungkan Papua dengan Maluku dan menjadikan Papua bagian dari Negara Indonesia Timur (NIT). Frans bersikeras bahwa wilayah Papua seharusnya dipimpin oleh orang-orang Papua sendiri daripada dipimpin oleh orang lain.

Sebagai satu-satunya putra yang hadir dalam Konferensi Malino, Frans juga mengemukakan suara orang Papua yang selama ini seringkali ditepikan. Salah satu kontribusi terbesar Frans Kaisiepo pada Konferensi Malino adalah mengusulkan nama “Irian” sebagai pengganti nama Papua.

Frans memperkenalkan kata “Irian” yang berasal dari bahasa asli Biak. Kata “Irian” berasal dari tradisi para pelaut Biak yang harus menunggu panas matahari agar dapat melaut karena pantai Pulau Biak selalu tertutup kabut. Dengan ini, kata “Irian” juga bermakna “cahaya yang mengusir kegelapan”.

Frans mengusulkan agar nama Papua atau Nederlands Nieuw Guinea diganti dengan ‘Irian’. Hal ini dilator belakangi oleh kata Papua yang merupakan sebutan dari pendatang asal Maluku. Kata tersebut berasal dari sebutan pua-pua yang artinya keriting. Frans merasa bahwa sebutan ini merendahkan orang-orang lokal Papua dan berkehendak untuk menghentikan sebutan itu. Kata ‘Irian’ sendiri kemudian dipolitisasi kelompok nasionalis Indonesia di Papua dan dijadikan sebagai akronim atau singkatan dari “Ikut Indonesia Anti Nederlands” oleh Presiden Soekarno.

Perjuangan Frans Kaisiepo di bidang politik terus berlanjut. Pada tahun 1946, Ia mendirikan Partai Indonesia Merdeka di Biak. Frans terus memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di tanah Papua meski Indonesia telah resmi memproklamirkan kemerdekaannya. Pada saat itu pemerintah kolonial Belanda belum mengizinkan rakyat Papua untuk mengibarkan bendera merah putih. Pada tahun 1949, Frans turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Putra Papua ini ditunjuk oleh pihak Belanda untuk memimpin delegasi Belanda New Guinea. Meski bersedia menerima ajakan Belanda, Ia tetap memegang teguh ke-Indonesia-annya.

Sikap Frans yang berani dalam menentang pemerintah Belanda membuatnya diasingkan. Pemerintah kolonial Belanda membungkamnya dengan disekolahkan di Opleidingsschool voor Inheemsche Berstuursambtenaren (OSIBA) di Belanda selama lima tahun. Antara tahun 1954 sampai 1961, Frans ditugaskan di distrik-distrik terpencil seperti di Ransiki, Manokwari, Ayamu-Taminabuan, Sorong, dan Mimika.

Pada tahun 1961, Frans Kaisiepo mendirikan partai baru bernama Irian Sebagian Indonesia (ISI) yang bertujuan untuk menuntut penyatuan Papua dengan Republik Indonesia. Pada tahun yang sama, Presiden Soekarno membentuk Tiga Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961. Melalui ISI, Frans membantu pendaratan sukarelawan Indonesia yang diterjunkan ke Mimika.

Kala itu, Belanda masih menguasai Papua dan menjadikan Papua sebagai negara boneka yang digagalkan oleh Indonesia. Kala itu, Belanda memerintahkan masyarakat Papua untuk mengibarkan bendera baru yaitu bendera Bintang Kejora alih-alih bendera merah putih. Hal ini dimaksudkan untuk memecah persatuan bangsa Indonesia.

Hasil utama dari Trikora adalah Perjanjian New York. Pada 1 Mei 1963, wilayah Papua dikembalikan dari Kerajaan Belanda ke Indonesia. Pemerintah RI kemudian menggunakan nama warisan dari Frans, yaitu Irian Barat, untuk menyebut wilayah ini. Sejak saat itu, Indonesia resmi memiliki Papua sebagai bagian dari negaranya.

Frans Kaisiepo sempat menjabat sebagai Gubernur Irian Jaya pada tahun 1964. Ia merupakan gubernur keempat di wilayah tersebut. Frans memegang jabatan gubernur hingga 29 Juni 1973. Selama masa kepemimpinannya, Frans selalu berupaya agar Irian Jaya dapat bersatu kembali dengan bangsa Indonesia. Misi utamanya adalah memenangkan Indonesia dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969.

Frans gencar melakukan kampanye ke seluruh kabupaten seperti Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fak-fak, Sorong, Manokwari, Teluk Cendrawasih, dan Jayapura, untuk meyakinkan anggota dewan setempat agar memilih Indonesia. Berkat kegigihannya, Pepera mampu dimenangkan oleh Indonesia. Frans Kaisiepo menjadi delegasi Indonesia yang turut menyaksikan kemenangan Pepera di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York pada tahun 1969.

Setelah selesai menjadi gubernur, Frans pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung hingga saat beliau wafat pada 10 April 1979. Frans dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih, Jayapura. Pada tahun 1993, Frans Kaisiepo dikenang sebagai pahlawan nasional Indonesia dalam rangka mengenang kontribusinya dalam menggabungkan Papua sebagai bagian dari Indonesia.

Frans Kaisiepo dikenang sebagai salah satu dari penerima penghargaan Bintang Maha Putra Adi Pradana Kelas Dua. Untuk mengenang jasa dan pengorbanannya, nama Frans Kaisiepo juga diabadikan menjadi salah satu kapal perang TNI Angkatan Laut, KRI Frans Kaisiepo dengan nomor seri 368 dan bandar udara internasional di Pulau Biak, Papua. Penghargaan terakhir adalah wajah Frans Kaisiepo yang dipajang dalam lembaran uang rupiah emisi 2016 bernilai Rp10.000,00. Frans terus menjadi simbol perjuangan rakyat Papua dalam persatuan bangsa Indonesia.

Penulis : Muhammad Fikri

Editor : Yudinda Gilang Pramudya

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button