Imbas Kenaikan Harga Beras, Mahasiswa Mesti Berhemat
AksaraOpini, Bandung (09/03/2024) — Belum habis persoalan gula pasir yang langka, sekarang harga beras ikut melonjak. Mahasiswa rantau yang notabene harus serba irit karena jauh dari keluarga, kini mau tak mau mesti potong anggaran sana-sini. Kenaikan harga tentu membuat barang semakin sulit ditemui. Belum lagi harga sembako lain yang ikutan mahal.
“Iya, ih. Bingung mau ngirit model gimana lagi. Mau masak sendiri, cari beras di mana-mana kosong. Mau makan beli jadi, porsinya sedikit. Boros pula. Duit jatah sebulan, masa, habis buat dua pekan,” ucap Athala Putri, mahasiswi prodi S1 Ilmu Komunikasi angkatan 2023 asal Lampung saat diwawancarai di kostnya di PGA, Lengkong pada Jumat (23/2).
Dilansir dari CNN Indonesia terbitan Jumat (23/2), pedagang pasar tradisional kompak mengatakan bahwa kenaikan harga beras yang terjadi belakangan ini adalah yang tertinggi dalam sejarah. Angkanya melambung melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh Badan Pangan Nasional dan mencetak rekor baru, tembus hingga Rp 18 ribu per kilogram yang seharusnya Rp10.900,-13.900. Kenaikan harga beras ini merupakan salah satu dampak dari penurunan produksi akibat fenomena El Nino di Indonesia.
“Ya, mau gimana lagi. Yang biasanya irit harus lebih irit,” lanjut Kayla. Ia juga mengeluhkan soal warung makan langganannya yang tiba-tiba menaikan harga.
“Biasanya nasi putih empat ribu seporsi. Ini naik jadi lima ribu. Mana saya ga cukup seporsi, lagi, dikit banget,” ujarnya berkelakar.
Kayla mengaku teman-teman sesama rantaunya juga mengeluhkan hal serupa. Cara mereka bertahan di tanah orang pun beragam. Ada yang sesekali berpuasa, ada yang mencoba mengkonsumsi alternatif karbohidrat lain seperti kentang dan mie instan, tapi ada pula yang menganggap kenaikan harga ini bukanlah masalah besar, salah satunya adalah Nurul Khotimah, mahasiswa D3 Teknologi Telekomunikasi angkatan 2022. Nurul mengaku tidak terlalu keberatan dengan harga beras yang tinggi.
“Aku, tuh, emang jarang makan nasi. Sukanya jajan-jajan gitu. Kalau makan nasi ya lebih sering masak sendiri. Kebetulan juga setiap pulang aku bawa beras dari rumah. Jadi, yah, menurut aku nggak terlalu gimana-gimana, sih,” papar mahasiswa asal Sulawesi Selatan itu.
Akan tetapi, Nurul tetap melayangkan keprihatinannya atas lonjakan harga beras ini.
“Ya, (teman-teman aku) banyak yang ngeluh, sih. Aku juga kadang suka nggak tega lihat anak yang uang bulanannya pas-pasan. Apalagi selain beras, telur (juga) naik, kan?,” ujarnya saat diwawancarai pada Minggu(3/3).
Begitu pula dengan Muhammad Harun Arrasyid, mahasiswa Desain Komunikasi Visual angkatan 2022. Rupanya Harun memiliki pandangan lain tentang isu ini.
“Bagian (ter)buruknya, kalau misal harga beras udah mulai stabil, belum tentu harga menu-menu di rumah makan ikut turun karena ini merupakan sweetspot bagi para pedagang.
“(Buat teman-teman), jangan buta politik sebab keputusan politik seperti regulasi perdagangan dan sistem subsidi bisa mempengaruhi harga bahan pangan. Contohnya, ya, ini, kenaikan bahan-bahan pokok,” lanjutnya.
Pada akhirnya, Harus berharap pemerintah bisa lebih berorientasi pada masyarakat menengah kebawah dengan segera bertindak dengan melibatkan seluruh lembaga yang berpartisipasi dalam stabilisasi harga pangan.
Penulis: Syifa Uswatun Khasanah
Editor: Nur Nazlizah Purwanti