Featured

Kampus sebagai Ruang Aman Tanpa Pelecehan Seksual

AksaraFeature, Bandung (30/1/19) – Kasus pelecehan seksual semakin marak terjadi di lingkungan kampus, baik secara verbal maupun non-verbal. Arti pelecehan seksual sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah sebuah pelanggaran batasan seksual orang lain atau norma perilaku seksual, atau dapat diartikan sebagai tindakan yang meremehkan, yang bertujuan untuk merendahkan martabat manusia dan bermotif seksual. Sebuah tindakan dapat dikategorikan sebagai pelecehan seksual apabila tindakan tersebut membuat seseorang merasa tidak nyaman. Tindakan itu sendiri dapat berupa tindakan fisik, maupun melalui ekspresi, gestur tubuh, ucapan dan lain sebagainya, yang terkait seksualitas manusia.

Jadi apabila seseorang merasa tidak nyaman atas tindakan orang lain terhadap dirinya, berkaitan dengan seksualitas, sengaja maupun tidak, maka itu sudah bisa disebut pelecehan seksual. Namun sayangnya, kesadaran akan tindakan pelecehan seksual ini masih sangat minim. Masyarakat masih bias atau belum familiar dengan isu seksual seperti ini. Kita sendiri pun bahkan masih belum sadar atau bahkan memaklumi tindakan pelecehan yang terjadi di lingkungan sekitar kita.

Kurangnya penanaman pendidikan seks sejak dini menjadi salah satu penyebabnya. Mutiara Ika Pratiwi sebagai koordinator Organisasi Perempuan Mahardika, yaitu organisasi yang memiliki misi untuk memerdekakan perempuan dari kekerasan, diskriminasi dan kemiskinan, menganggap bahwa sosialisasi dan cara pandang menghargai orang lain harus dibudayakan sedini munkin. Hal ini karena tindak pelecehan dan kekerasan seksual sering tidak disadari oleh wanita maupun pria. Hal tersebut mengakibatkan korban sering mengalami pelecehan dan akhirnya menginternalisasi yang ia rasakan.

Sebagai mahasiswa, tindakan pelecehan seksual pun kerap terjadi di lingkungan kampus. Saat ini beberapa media kampus sudah mulai menguak kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi di kampusnya. Padahal seharusnya sebagai tempat menuntut ilmu, institusi pendidikan, khususnya universitas, dapat menjamin keselamatan para akademisinya.

Sementara itu, aturan hukum mengenai pelecehan seksual diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 289 sampai 296. Namun, menurut Risna, salah satu perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, sampai saat ini belum ada undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai tindak pencabulan dan pelecehan seksual. “KUHP sendiri dibuat pada zaman Belanda, maka payung hukum tersebut kurang relevan dipakai di masa sekarang,” tegas Risna.

Hal ini membuat kampus, sebagai institusi pendidikan, dituntut untuk memberikan ruang aman bagi mahasiswa, dan menguatkan payung hukum mengenai pelecehan seksual, agar tercipta ruang yang kondusif untuk semua bentuk aktivitas pendidikan di dalamnya.

Untuk menghindari pelecehan seksual, salah satu caranya menurut Mutiara adalah untuk tidak membudayakan tindakan yang dapat mengarah pada pelecehan, misalnya dengan menyentuh tubuh seseorang, karena hal itu bisa menimbulkan perasaan tidak nyaman.

Mutiara juga mengimbau kepada perempuan dan orang-orang yang berpotensi sebagai korban pelecehan seksual, untuk secara tegas menggunakan prinsip “No means No!”, atau menyampaikan ketidaksukaannya ketika berada dalam situasi yang tidak nyaman, sehingga pelecehan tidak diteruskan. “Ingat bahwa kita memiliki hak atas diri kita. Jangan sampai orang lain dengan mudah mengambil hak tersebut!,” tegas Mutiara.

Meskipun pelecehan seksual masih dianggap momok oleh sebagian masyarakat, sebagai mahasiswa kita harus tetap meningkatkan kesadaran akan pentingnya menerima korban dan mendukung pemulihannya. Jangan sampai, korban tidak diberi ruang untuk menyalurkan isi hatinya, sehingga menyebabkan trauma. Jangan diam, korban tidak sendiri, katakan dan berani!

 

Penulis: Yasinta Darin Firdaus

Editor: Annisa Nisrina

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button