Teori Konspirasi, Kesimpulan dari Rasa Takut
AksaraFeature, Bandung (30/11/2020) – Menentukan sebuah pemikiran sebagai suatu kebenaran, atau setidaknya sebuah acuan, tidaklah mungkin dilakukan oleh satu individu atau satu kelompok. Terkadang, ada suatu kebenaran yang diperjuangkan oleh satu kelompok secara ekstrem, hingga mengandalkan kekerasan. Beberapa kebenaran tersebut sering disebut sebagai teori konspirasi. Tulisan ini akan mencoba untuk melihat bagaimana sebuah teori konspirasi bisa diperjuangkan sedemikian rupa oleh suatu kelompok tertentu.
Ted Goertzel dalam Belief in Conspiracy Theories mengatakan bahwa teori konspirasi adalah anggapan bahwa suatu keadaan/situasi disebabkan oleh konspirasi politik dari kelompok-
kelompok dengan kuasa tinggi, meskipun masih banyak penjelasan lain yang lebih masuk akal. Jovan Byford dalam Conspiracy Theories A Critical Introduction juga mengatakan teori konspirasi muncul karena prasangka atau kekurangan bukti. Anggapan dari prasangka ataupun kekurangan bukti akan sangat membahayakan jika diteruskan melalui tindakan.
Andrade dan Hussain dalam artikel Polio in Pakistan: Political, Sociological, and Epidemiological Factors melaporkan bahwa terdapat sebuah teori konspirasi tentang Amerika yang merubah vaksin polio sehingga laki-laki muslim akan steril jika mendapatkannya. Hal tersebut menjadi salah satu faktor Pakistan belum bersih dari polio hingga 2018. Contoh lain belakangan ini, tentang pembakaran menara 5G yang dikatakan sebagai penyebab penyebaran COVID-19.
Dua contoh pemikiran ekstrem tersebut disebabkan oleh banyak faktor yang saling terikat dan memengaruhi. Mulai dari riset oleh Darwin dan rekannya terkait keterikatan paranoia dan schizotypy dengan teori konspirasi; riset oleh Cichocka dan rekannya bahwa kepercayaan terhadap teori konspirasi juga dipengaruhi “individual narcissism but low self-esteem”.
Kecenderungan untuk menyambungkan kejadian satu dengan kejadian lain menjadi salah satu faktornya. Vaksin kerap dikatakan sebagai penyebab autisme. Andrade dalam Medical conspiracy theories: cognitive science and implications for ethics menjabarkan hal tersebut cenderung terjadi karena vaksin MMR biasa diberikan ketika anak berumur tiga tahun, dekat dengan saat-saat gejala autisme muncul.
Andrade juga menjabarkan bahwa cenderung orang yang mengatakan vaksin menyebabkan autisme adalah orang tua anak itu sendiri. Berbeda dengan diabetes yang lebih dipahami, autisme memberikan rasa tidak berdaya yang lebih, sehingga menimbulkan lebih banyak teori konspirasi. Selaras dengan penemuan Abalakina-Paap tentang faktor ketidakberdayaan sebagai pendorong orang untuk memercayai teori konspirasi.
Rasa ketidakberdayaan itu membuat mereka mudah bersandar ke suatu aspek penenang diri. Goertzel dalam kutipan di The Psychology of Conspiracy Theories oleh Karen dan rekannya mengatakan bahwa memercayai sebuah teori konspirasi memberikan kesan bahwa mereka memiliki suatu kekuasaan, hal tersebut muncul karena mereka bisa mengatakan keterangan dari pemegang kuasa itu salah dan yang benar adalah mereka. Bost dan Prunier dalam kutipan dalam jurnal yang sama menyampaikan bahwa teori konspirasi menjanjikan keamanan karena berhasil mengidentifikasi ancaman, yaitu sosok/kelompok yang berbahaya. Dengan berhasil mengetahui ancaman tersebut, maka dikatakan bahwa ancaman tersebut tidak sebahaya sebelumnya.
Ketika mereka sudah memiliki suatu ‘ancaman’ yang sama, maka mulailah tahap selanjutnya. Mereka mulai membuktikan bahwa teori mereka adalah kebenaran dan menolak segala fakta yang sudah diteliti dan diakui sebelumnya. Grimes dalam On the Viability of Conspiratorial Beliefs menuliskan bahwa segala bukti yang mengatakan mereka salah dianggap sebagai bukti bahwa konspirasi memang dan sedang dilaksanakan, bahwa konspirasi tersebut sedang mencoba untuk membungkam teori mereka.
Kisah yang paling menggambarkan semua faktor tersebut adalah ramainya kepercayaan terhadap teori bumi datar. Teori bumi datar bahkan dikupas dalam film dokumenter berjudul Behind The Curve. Dalam dokumenter tersebut diperlihatkan beberapa ‘penganut’ teori bumi datar telah melakukan eksperimen untuk membuktikan teori mereka. Namun, selain gagal mendapatkan bukti, mereka justru menyalahkan faktor ‘energi asing’ atas kegagalan tersebut.
Layaknya teori bumi datar, sebanyak apapun orang yang memercayainya, bukan berarti pemikiran mereka adalah kebenaran. Hal tersebut tetap berlaku meski telah banyak percobaan yang dilakukan untuk membuktikannya. Karena sebuah pemikiran yang dianggap benar perlu melalui banyak hal untuk diakui. Membuktikan sebuah pemikiran adalah kebenaran bahkan memiliki bidang ilmunya, yaitu the philosophy of science.
Karl Popper, seorang filsafat abad ke-20, memperkenalkan istilah pseudo-science sebagai sisi seberang dari science. Sederhananya, pseudo-science akan mengkonfirmasi sesuatu tersebut benar, sedangkan science mengkonfirmasi sesuatu tersebut salah. Ibaratkan sebuah contoh: seseorang ingin mengetahui apakah santa claus itu nyata atau tidak. Dalam pseudo-science, seseorang akan berhenti mencari tahu ketika mereka menemukan kado di bawah pohon natal. Namun dalam science, tidak hanya memantau kapan tepatnya kado tersebut diletakkan di bawah pohon natal, seseorang tersebut juga akan menerima dengan lapang dada siapapun sosok yang ia lihat menaruh kado tersebut, bahkan jika ia bukan santa. Terlebih lagi, jika kebetulan ia melihat sosok yang ‘berpakaian’ seperti santa, ia akan mencoba segala cara untuk membuktikan bahwa santa tersebut nyata, misal: menarik jenggotnya.
Kecenderungan untuk merasa aman ketika kita menemukan satu bukti bahwa apa yang kita percaya itu kebenaran, adalah faktor yang membuat teori konspirasi menyebar luas. Terlebih lagi jika kita bertemu dengan sejawat dengan kepercayaan yang sama. Karena bukti bahwa ‘kado ada di bawah pohon natal’ atau istilahnya: pseudo-science, dapat digunakan untuk membuktikan apapun.
Percaya karena rasa aman, bukan karena tahapan penelitian yang diuji dan diakui banyak kelompok sekaligus, akan sangat membahayakan. Dampak buruk dari teori konspirasi bisa memakan korban jiwa. Maka, selalu perhatikan dan pastikan suatu pemikiran melalui berbagai sumber yang terpercaya.
Penulis: Dewa Made Surya
Editor: Nur Azizah Arini Putri